Ilustrator Cilik

“Wah, gambarmu bagus banget!”
“Bikin aku kagum banget,”
Suara-suara pujian teman-teman Nadya terngiang di telinga gadis itu. Dia terlelap di mejanya setelah semalaman mengerjakan tugas dari sekolahnya dicampur dengan pesanan teman-temannya yang menginginkan sketsa diri. Di mejanya, tersebar foto-foto temannya yang dibuat untuk disketsa.
“Sedang apa, Nadya?”
Suara sepupunya, Ola, yang untuk seminggu menginap di rumah Nadya karena urusan keluarga, dan mumpung sedang liburan sekolah, terdengar. Ola melongok di pintu kamar Nadya.
“Sedang mengerjakan pesanan teman-temanku untuk menggambar sketsa diri,” jawab Nadya setengah mengeluh.
“Wah, aku baru tahu kalau gambarmu sebagus ini!” Ola ternganga, melihat-lihat kertas sketsa yang sudah dibuat Nadya, tersebar di atas tempat tidurnya.
“Makasih.” Nadia menguap.
“Mau kubantu?” tanya Ola sumringah.
“Ah -tidak usah, terima kasih,” jawab Nadia tergagap, “apalagi ini semua harus kukerjakan sendiri, kalau dibantu kamu nanti bukan sepenuhnya buatanku.”
Padahal, Nadya mengatakannya karena dia tahu kalau kemampuan menggambar Ola kurang bagus. Dia tidak ingin mengatakannya, namun tentu saja dia tidak ingin hasil gambarannya juga menjadi berantakan karena bantuan polos Ola.
“Nadya! Ola! Cepat mandii!” seru Ibu.
“Sebentar, Tan, kami sedang bekerja!” seru Ola asal. Padahal, hanya Nadya yang sedang bekerja, dia sendiri hanya melihat-lihat saja.
Ola memperhatikan gambar-gambar Nadya. Ada yang digambarnya bertubuh bulat, ada yang gemar makan, ada yang digambarnya sedang marah-marah, semua itu dibuatnya dari sifat-sifat teman yang digambarnya tersebut.
Kemampuan menggambar Nadya ini turun dari ayahnya, yang dulu adalah seorang ilustrator buku di sebuah penerbit. Banyak buku yang ilustrator cover dan isi sudah dibuatnya, dan seharian selalu bekerja lembur menggambar. Nadya kecil yang bersifat ingin tahu memperhatikan seluruh pekerjaan ayahnya itu, lalu mulai menggambar sendiri. Saat umurnya lima tahun, gambarannya sudah seperti anak yang berumur sepuluh tahun.
“Kamu pasti sibuk, ya, mengerjakan pesanan seperti ini? Dibayar tidak sama teman-teman kamu? Kalau dibayar, banyak tidak? Kalau banyak separuhnya buatku ya!” cerocos Ola mengagetkan Nadya sampai drawing pen yang ia pegang nyaris mencoret separuh sketsa Alinda, teman sekelasnya, yang sedang digambarnya.
“Kamu ini banyak tanya, ya. Tentu saja aku dibayar, per sketsa lima ribu rupiah. Masa aku mau menghabiskan sepanjang malam untuk menggambar saja?” gerutu Nadya.
Ola manggut-manggut mendengarnya.
“NADYA! OLA! CEPAT MANDI! HARUS BERAPA KALI IBU BILANG?!”
Wajah Ibu yang sangar muncul di ambang pintu. Seakan tersambar petir, Nadya dan Ola bergegas pergi berebut kamar mandi.

~Bersambung~

2 Comments

  1. Farah Sajidah says:

    oo.. i like your blog

Leave a reply to sfatimahazzahra Cancel reply